Menulis Buku atau Karya Ilmiah Lainnya
oleh Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih Alu Abdillah
Termasuk sarana yang bisa memotivasi belajar adalah menuangkan ilmu dalam bentuk buku, mudzakkirah (ringkasan) umum atau khusus, makalah atau bentuk-bentuk karya tulis lainnya. Menuangkan ilmu dalam bentuk karya ilmiah memiliki banyak manfaat, di antaranya :
Menulis akan membuat ilmu itu lebih mudah dihafal ketimbang sekedar membaca tanpa dibarengi dengan menulisnya kembali. Mengarang atau menulis mengharuskan seseorang melakukan penelitian atau membaca banyak buku dan referensi untuk mendapatkan pengetahuan yang akurat, Ini merupakan keuntungan yang besar.
Ingatan seseorang betapapun kuatnya pasti bisa lupa dan akan berkurang. Dengan demikian, akan hilang banyak pengetahuannya. Berbeda bila ia menulisnya. Ia akan menjaga ilmu itu bertahun-tahun dan orang-orang bisa mengkajinya serta mengambil manfaat darinya. Para ulama Salaf kita sangat menganjurkan untuk menulis. Al-Wazir Ibnu Hubairah berkata, ”Ilmu bisa diraih dengan tiga cara : Pertama, dengan mengamalkannya. Seseorang yang mengharuskan dirinya untuk berbicara dengan bahasa Arab, maka ia diharuskan untuk menguasai Nahwu. Orang yang ditanya tentang sebuah permasalahan agama, maka ia akan belajar. Kedua, mengajarkannya. Orang yang mengajari orang lain, akan terdorong untuk mempelajarinya. Ketiga, menulisnya. Dengan menulis akan mendorongnya untuk membaca. Seseorang tidak akan bisa menulis (buku) bila ia tidak menguasai ilmu tentang tema yang ingin ditulisnya.”[1]
Namun, yang perlu diingat adalah bahwa perkataan kami sebelumnya yang menganjurkan untuk menulis dalam segala bentuk karya ilmiah, apalagi dalam bentuk buku, bukan bermaksud untuk menganjurkan semua orang menulis. Sehingga orang yang menghafal seratus hadis, atau membaca satu atau dua buku, atau mengikuti sekali atau dua kali kajian, kemudian berkata, “Saya orang yang banyak membaca, siapa yang bisa seperti saya?” Dan belum mencapai seminggu atau dua minggu ia sudah mengeluarkan satu buku di pasar dan menulis sesuatu yang mengherankan dan tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya?
Tidak, dan seribu kali tidak! Sesungguhnya kesembronoan dalam menulis termasuk kejahatan, musibah dan bahaya besar. Maksud kami, orang yang bisa melakukan kewajiban ini hendaklah sudah berpengalaman, ahli di bidangnya, sudah menjadi teladan, dan memiliki kemampuan ilmiah Syari’ah. Adapun mereka yang belum sampai ke tingkatan tersebut diharuskan memelihara apa yang pernah dia tulis dan menaruh di lacinya sampai ia mencapai ke tangga ilmu Syar’i. Bila ia sudah sampai ke derajat “matang pengetahuannya” yang membuatnya mampu berkarya, maka ia bisa melihat kembali karya yang ditulisnya ketika masih belajar, kemudian memperbaiki dan mengoreksi kesalahannya. Setelah itu, dia sudah boleh menyebarkannya kepada orang lain, agar bisa diambil manfaatnya.
(Dikutip dari 102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara, oleh Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih Alu Abdillah, hal 258-259, Surabaya: Elba)
[1] Al-Manhajul Ahmad, Al Ulaimi, 2/352